Kisah Dua Mayat Jadi Penampung Hidup Ku

       
 
mayat terapung di laut
Allah SWT memisahkan manusia dengan berbagai cara terkadang kita tak sanggup menerimanya, itulah kita manusia yang lupa akan cara Allah membawa kita ke dua jalan yang rupakan pilihan kita Syurga atau Neraka dengan jalan kematian, kematian merupakan jalan menuju hidup yang kekal akan selama-lamanya hidup kita disana, wahai kaum manusia pembaca yang di Ridhai oleh Allah, Ini sebuah kisah nyata yang di alami oleh Erni dan suaminya M. Rizal (alm), ketika berlabuh menuju Malaysia, mari kita simak sama-sama para pembaca isi Syurga amin.


         SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – “Saya tak ada pilihan. Sebab saya tak ada pelampung. Saya betumpang hidup dengan dia, sampai nelayan ambil.”
Tiba-tiba suara Erni Juita yang berdialek melayu itu terhenti. Matanya mulai berkaca. Seketika sebulir air mata jatuh dari pipinya. Ia menunduk sambil mengusap muka. Bisu. Hanya terdengar tangis kecil dalam dekapan tangannya.
Perempuan asal Bireuen ini seakan merasa bersalah karena menggunakan mayat sebagai pelampung ketika kapal kayu yang ditumpanginya karam.Ia menceritakan kejadian itu kepada Serambinews.com, seusai disambut oleh Wakil Gubernur Aceh Muzaki Manaf di Ruang VVIP Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM), Blangbintang, Aceh Besar, Selasa (22/9/2015). Perempuan berusia 26 tahun ini adalah satu dari 12 warga Aceh yang selamat dalam tragedi kapal tenggelam di Sabar Bernam, Malaysia, 3 September 2015 saat hendak pulang ke Aceh.
Korban meninggal hingga hari ini mencapai 63 orang dan 28 di antaranya warga Aceh. Sementara enam orang lagi korban meninggal belum teridentifikasi.
Erni mengisahkan, malam itu ia bersama suaminya, M Rizal, menumpang kapal kayu. Kapal milik tekong asal Sumatera Utara (Sumut) tersebut khusus membawa pekerja gelap asal Indonesia.
Di dalam kapal, Erni duduk sesama perempuan begitu juga dengan suaminya duduk sesama kaum pria. Untuk bisa menumpang kapal itu, masing-masing penumpang harus membayar 600 ringgit.
Malam itu, kapal kayu yang tidak dilengkapi peralatan keselamatan itu disesaki lebih 70 penumpang dari berbagai daerah. Jumlah tersebut melebihi kapasitasnya. Saking padatnya, bahkan ada penumpang yang duduk di atas atap rumah kapal.pukul 12.00 malam waktu Malaysia, kapal perlahan bergerak meninggalkan dermaga. Awalnya, kapal melaju dengan tenang. Namun setelah dua jam mengarungi lautan, cuaca mulai tidak bersahabat. Gerimis dan gelombang besar menjadi penghalang mereka untuk sampai ke perbatasan antara Malaysia dan Indonesia.
Sang nahkoda tidak menghiraukan peringatan alam tersebut. Dengan kecepatan penuh, kapal yang bermuatan “gemuk” itu tetap melaju menerobos gelapnya malam Selat Malaka. Beberapa kali kapal sempat oleng usai menabrak ombak besar.
“Ketika oleng saya jatuh dan semua orang yang duduk di sebelah saya juga jatuh dan menimpa saya,” katanya mengenang.
Saat itu, keadaan kapal mulai tidak stabil, air mulai masuk ke dalam badan kapal hingga akhirnya tenggelam.
Dalam suasana gelap gulita, semua orang meraih apa saja yang bisa dijadikan peganggan. Saat itu, Erni tidak tahu lagi di mana suaminya. Semua orang dalam keadaan panik ingin menyelamatkan diri. Suara takbir dan minta tolong bersaut-sautan dalam kegelapan.
Beberapa penumpang kapal ada yang tidak bisa berenang dan akhirnya tenggelam. Satu persatu mayat mulai mengapung di tengah lautan lepas. Bahkan, Erni tidak terfikir bisa bertahan dalam ayunan ombak malam itu. Yang bisa dilakukan adalah berenang dan mencari barang apa saja untuk pelampung.
“Saat itu ada satu orang laki-laki bagi bag (tas) pada saye. Tapi beberapa menit bagnya tenggelam, kemudian saye pegang bag ke dua, tapi juga tenggelam,” cerita Erni dengan bahasa melayu.
Di tengah dinginnya air laut, Erni berusaha mengapai benda yang lewat di depannya. Ternyata, yang lewat adalah mayat wanita yang tidak dikenalinya. Pada mayat tersebut, malam itu Erni mengantungkan hidupnya dengan memeluk mayat sampai pagi tiba.
Esoknya, mayat yang dipegang Erni semalam mulai mengembung. Dengan berat hati Erni meninggalkan mayat tersebut dan beralih ke mayat lain yang lewat di depannya. Erni langsung memeluk mayat perempuan ke dua yang ternyata dikenalinya.


“Mayat kedua saya ingat, dia orang kita (Aceh),” katanya terbata.
Erni terdiam beberapa saat samba membasuh muka dengan kedua tangannya. Dengan berat Erni berkata, “Saya tak ada pilihan. Sebab saya tak ada pelampung. Saya betumpang hidup dengan dia, sampai nelayan ambil,” ujarnya.
Saat itu, tangisnya pecah. Linangan air matanya membasahi kulit pipinya yang hitam manis. Erni mengatakan, tidak tahu nama mayat tersebut, tapi ia mengenalnya karena keduanya tinggal berdekatan rumah saat di penampungan.
“Saya minta maaf dengan mayat,” ucapnya sambil tersedu.
Saat itu Erni menghadapi dua pilihan, antara hidup dan mati. Erni memeluk erat mayat itu agar tetap bisa mengapung.
Ibu satu anak ini mengaku tidak melihat apapun di tengah laut. Dalam keadaan kesulitan, Erni berdoa, “Kalau memang di sini ajal saye, saye ikhlas. Kalau hari ini bukan ajal saye, Allah tunjuklah jalan dan berilah penolong.”
Saat itu, Erni sudah menyerahkan hidup dan matinya pada kehendak Ilahi. Ia sudah pasrah jika ajalnya berakhir di laut bebas. Tapi faktanya, Allah mengabulkan doa Erni. Beberapa saat berselang, satu kapal nelayan melintas.
Erni kemudian ditolong oleh awak kapal pencari ikan tersebut dan diberi pertolongan ala kadar setelah terendam semalaman dalam air laut.
TEPAT pukul 11.00 waktu Malaysia, berkat pertolongan nelayan tadi, polisi laut Malaysia tiba di lokasi kejadian. Saat polisi melakukan evakuasi, Erna mendapat kabar bahwa suaminya telah meninggal. Ia hanya sempat melihat sebentar jasad suaminya di atas kapal sebelum pingsan. Hingga saat ini, ia tidak pernah berjumpa lagi dengan suaminya setelah enam tahun pernikahannya.
Sebelum berangkat pulang, Erni mengaku pernah mengalami rasa gelisah. Bahkan suaminya sempat termenung-menung. Selain itu, Erni juga hampir tertinggal kapal ketika ke kamar mandi. Namun, suaminya cepat menemukannya dan langsung naik ke atas kapal. Akibat kejadian ini, Erni merasa trauma dan berjanji tidak akan pergi lagi.
“Tidak,” katanya spontan.
Padahal, saat pergi ke Malaysia sekitar awal akhir 2013, Erni menggunakan paspor dan terbang melalui Bandara SIM, Blang bintang, Aceh Besar. Di Malaysia, ia bersama suaminya bekerja di sebuah restoran.
Sementara anaknya yang kini berusia empat tahun, tinggal bersama keluarga Erni di Desa Geudong, Kecamatan Kota Juang, Bireuen.
Kendati demikian, Erni mengucapkan terimakasih kepada Pemerintah Aceh dan dan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur yang memohon pengampunan kepada pihak otoritas Malaysia. Sehingga Erna dan warga Aceh lainnya bisa pulang dan berkumpul lagi bersama keluarga untuk menyambut lebaran Idul Adha.
Karo Humas Aceh, Ali Alfata mengatakan, semua korban selamat asal Indonesia berjumlah 20 orang, 12 di antaranya berasal dari Aceh.
Dari 12 orang yang dipulangkan, satu orang lagi atas nama Mohd Hanafiah, masih tinggal di Kuala Lumpur karena menjadi saksi di Mahkamah Malaysia bersama satu orang warga Sumatera Utara (Sumut) terhadap tekong kapal asal Sumut. Bersambung...



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama